Jakarta, WartaHukum.com - Sugi Kepala Humas dan Media, LQ Indonesia Lawfirm menjawab pertanyaan media terkait komentar dugaan Mafia kasus dan gratifikasi, dimana Makelar Kasus Natalia Rusli memberikan gratifikasi kepada Chaerul Amir.
"Alat bukti dan barang bukti sudah LQ berikan ke Kejagung dan Polda Metro Jaya. Di kejagung diproses oleh Jamwas dan berdasarkan alat bukti yang ada dinyatakan Jamwas, terbukti. Di Polda, Laporan Polisi atas dugaan Penipuan sudah dilaporkan dan proses penyelidikan, alat bukti sudah kami berikan ke penyidik. Untuk dugaan Gratifikasi, apabila dibutuhkan Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm bersedia memberikan keterangan sebagai saksi fakta yang melihat langsung kejadian."
Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA ketika ditanyakan mengenai pencabutan LP menjawab "sebagai kuasa hukum, kadang menjadi dilema ketika klien meminta untuk LP dicabut, padahal kami tahu ada "jebakan betmen", untungnya sudah ada LP kedua kami masukkan atas persetujuan klien sehingga Dugaan Penipuan masih bisa dijalankan."
Diketahui Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA mencabut pernyataannya di Jamwas, "saya buat surat pernyataan tersebut dalam posisi merasa tidak enak atau sungkan karena yang meminta adalah sosok lawyer senior yang sangat saya segani. Saya cabut keterangan di Jamwas, bukan berarti keterangan yang saya berikan salah."
Atas komentar ketua LSM Konsumen Cerdas Hukum, Maria atas adanya dugaan Gratifikasi ke Chaerul Amir dari Natalia Rusli, Alvin menjawab, "jika memang nanti di panggil oleh oleh Jampidsus, tentu saya akan memberikan keterangan bahwa memang peristiwa tersebut benar terjadi. Di ruangan ada 7 orang hadir, termasuk Hakim Agung dan istrinya. Saya lihat sendiri, oknum Markus memberikan uang pecahan 100 dollar dalam amplop putih ke Oknum petinggi Jaksa. Lokasi di Resto Seribu Rasa di Plaza Indonesia. Jadi kejadian dan peristiwa Gratifikasi itu ada terjadi."
Sugi menegaskan bahwa Founder LQ Indonesia Lawfirm, Advokat Alvin L, SH, MSc, CFP, CLA dihubungi oleh LSM KCH mengenai dugaan pidana Gratifikasi, dan dirinya memberikan kesanggupan untuk menjadi saksi. Dirinya lebih mementingkan sumpahnya sebagai Advokat dibanding kepentingan pribadinya. "Silahkan Jaksa Agung tindak lanjuti dugaan Gratifikasi, LQ sudah berikan alat bukti dan barang bukti, semua lengkap. Keterangan saksi 2 orang atau lebih ada, sudah dalam BAP dan ditandatangani para saksi di Kejagung, bukti screen WA ini kami berikan ke media pernah kami berikan ke kejagung. Bisa di lihat Natalia Rusli, menyebut nama SES dan menawarkan penangguhan penahanan. Juga video Natalia Rusli menerima uang ada. Juga bukti transfer uang ke Sheilla (anak buah Natalia Rusli) sudah diberikan, sebagai alat bukti surat. Sudah 2 atau lebih alat bukti sudah cukup untuk memproses Dugaan Gratifikasi, jika memang Jaksa Agung mau membuktikan niatnya untuk menegakkan Hukum, kami berikan lagi dengan senang hati. Apalagi dalam pemeriksaan konfrontir, Natalia Rusli mengakui menerima 550 juta dari korban SK dihadapan SESJAMWAS dan Inspektorat Jamwas. Kurang apalagi, pengakuan dari pihak pelaku pun sudah ada." tutup Sugi sambil tertawa.
DPR RI Dan Ketua LSM Mendukung Proses Pidana Dalam Oknum Jaksa Yang Menjadi Mafia Kasus Atau Proyek
Sebelumnya Anggota DPR, Johan Budi mendorong agar Jaksa Agung jangan hanya memproses Oknum Jaksa yang bermain kasus dengan pencopotan, namun diproses pidana agar ada efek jera.
Maria, ketua LSM Konsumen Cerdas Hukum menegaskan, Kapuspenkum Leonard Eben Ezer Simanjuntak tidak membantah dan mengatakan terhadap tuduhan makelar kasus, ke mantan SESJAMDATUN, pejabat bintang dua, Chaerul Amir dan Natalia Rusli, "sesuai yang beredar" dan sudah dibuktikan melalui proses pemeriksaan dan mendapat sanksi pencopotan jabatan.
Kapuspenkum Kejagung sendiri bilang "sesuai yang beredar" sudah terbukti, semua alat bukti ada, pelaku ada, lalu jika tidak diproses pidana, maka maaf, saya kira Jaksa Agung tidak layak menjabat sebagai pemimpin tertinggi kejaksaan karena dengan jelas dan terang benderang tidak menjalankan fungsinya sebagai Jaksa dan membiarkan adanya dugaan pidana yang dilakukan bawahannya. Lebih baik mundur saja. Tindakan pembiaran ketika mengetahui terjadi dugaan pidana, adalah pidana juga. Selayaknya sebagai aparat penegak hukum terhadap tindakan kriminal, apalagi kejahatan Luar biasa seperti Korupsi dan Gratifikasi, seharusnya di proses walau tanpa Aduan dari korban. Asas "Equality before the Law" tidak terpenuhi apabila Jaksa Agung tidak proses pidana oknum Kejaksaan sendiri. Seperti membiarkan Korps Adhyaksa menjadi sarang oknum dan kriminal. Sangat menciderai rasa keadilan." tutup Maria.
Sumber : LQ Indonesia Lawfirm, 16 JUNI 2021
Tidak ada komentar:
Tulis komentar