Jakarta, WartaHukum.com - Penasehat hukum Advokat Alvin Lim, S.H yang tergabung pada Firma Hukum LQ Indonesia & Partners menghadirkan Pakar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE pada Persidangan yang gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus ITE yang menimpa kliennya atas nama Sukisari, S.H pada kamis (01-07-2021). uniknya terdakwa merupakan Seorang Advokat aktif yang sering menangani kasus dan bersidang di Pengadilan.
adapun Majelis hakim yang menangani kasus tersebut, Toto Ridarto, S.H., M.H, Florensani S .K. S.H., M.H dan Arlandi Triyogo, S.H., M.H
dalam persidangan tersebut Penasehat Hukum terdakwa, Advokat Alvin Lim S.H. menanyakan kepada Ahli Pidana terkait penerapan pasal 27 UU ITE yang menimpa kliennya.
"menurut saudara ahli, apakah seseorang yang mengakses sesuatu hal yang tujuannya untuk mengedukasi bagi siapa saja yang membaca dapat dikategorikan/dikriteriakan telah melanggar unsur dari pasal 27 ayat (3) UU ITE ?
Dr. Seno menjelaskan dengan terang dan jelas
"menurut pendapat saya apabila benar adanya bahwa tujuan dari pada mengakses atau meng-share sesuatu yang bentuknya atau tujuannya adalah untuk mengedukasi bagi para si pembaca, maka niatan (mensrea) dari perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan telah melanggar ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE."
Selanjutnya ia juga menjelaskan Kriteria supaya diketahui oleh umum dapat dipersamakan dengan agar diketahui publik. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
Kriteria diketahui oleh umum bisa berupa unggahan pada akun sosial media, unggahan konten atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi share atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu.
Maka hal tersebut bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, apalagi dalam hal ini tujuannya untuk mengedukasi bagi para si pembaca atau orang yang menonton berita atau konten.
dalam sidang yang berlangsung tegang itu juga ahli pidana menjelaskan bahwa seorang advokat didalam menjalankan profesinya tidak dapat di tuntut
"Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diatur didalam UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Artinya selama menjalankan profesinya apalagi dalam hal ini bertindak sebagai kuasa hukum/penasehat hukum maka advokat dalam menjalankan profesinya diberikan hak imunitas untuk tidak dapat diintervensi pada saat menjalankan tugasnya. Pada pasal 5 menyatakan secara tegas bahwa profesi advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
Bahkan didalam pasal 16 UU Nomor 18 tahun 2003 secara tegas menyatakan advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana pada saat menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien nya" terang Dr Seno
pertanyaan kunci yang terakhir dari Penasehat hukum terdakwa terhadap ahli pidana adalah berkenaan dengan duduk kasus yang sebenarnya sudah ada restorative justice oleh kedua belah pihak.
"baik dapat saya jelaskan, bahwa ada didalam sebuah perkembangan hukum terdapat beberapa aturan yang mengatur tentang KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE) yang mana hal tersebut mengacu kepada : -NOTA KESEPAKATAN BERSAMA
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyelesaian batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) Nomor :
131/KMA/SKB/X/2012, Nomor : M. HH-017.HM.03.02 Tahun 2012
Nomor : Kep-06/E/EJP /10/2012
Nomor : B/39/X/2012-Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor : 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice)
-Surat Edaran KAPOLRI Nomor : SE/2/11/2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Yang diantaranya terkandung pada huruf G, H dan I yang berbunyi: G. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. H. terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
I. korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
Secara jelas dan tegas instansi di republik ini telah mengatur hal-hal seperti demikian, dengan tujuan pemidanaan bukanlah sebuah solusi utama didalam mengadili seseorang artinya tidak lagi dikedepankan hukuman kurungan penjara bagi si tersangka atau terdakwa. Maka restoratif justice ini harus dikedepankan dan diutamakan, mengingat juga budaya bangsa kita yaitu budaya toleransi." jelas Dosen yang juga Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan itu.
(Red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar