Senin, 05 Juli 2021

Penyelesaian Sengketa Prayudisial Dalam Kasus Konkrit Menurut Dr. Irman Jaya, S.H., M.H




Jakarta, WartaHukum.com - Dr. Irman Jaya, S.H., M.H merupakan Pakar Hukum Tata Negara dan juga Menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, berikut pandangan hukumnya didalam penyelesaian Sengketa Prayudisial yang sering terjadi di dalam Praktik Hukum


prejudicial geschill merupakan sengketa pengadilan yang timbul dari sengketa yang diperiksa di mana pengadilan yang sedang memeriksa tidak berwenang untuk memutus perkara yang baru timbul tersebut, sehingga diperlukan pengadilan lain yang berwenang terlebih dahulu.


Terjadi ketika pengadilan pidana sedang berjalan diperlukan adanya penetapan dari pengadilan perdata, sehingga ditempuh terlebih dahulu pengadilan perdata.


Dalam perkembangan selanjutnya, untuk meneguhkan konsepsi penyelesaian sengketa prayudisal, Mahkmah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut SEMA Nomor 4 tahun 1980 yang membagi prejudicial geschill ke dalam dua hal Pertama, prejudicial au action, yaitu :

perbuatan pidana tertentu yang masuk dalam kategori Pasal 84 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.


Kedua, question prejudicial au jugement yaitu keadaan yang menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP, dimana Pasal dalam SEMA tersebut sekedar memberikan kewenangan bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. 


Lebih lanjut, jika hakim hendak menggunakan instrument ini, maka hakim pidana tetap tidak terikat pada putusan hakim perdata yang bersangkutan Ketentuan mengenai prejudicial geschill tidak dapat dibenturkan dengan keberadaan asas nebis in idem, karena kedua hal tersebut merupakan subjek yang berbeda satu dengan yang lainnya. 


Dalam sistem peradilan pidana syarat pokok suatu perkara dikatakan sebagai nebis in idem adalah apabila perbuatan (dalam suatu tindak pidana ) telah diputus dengan putusan inkracht. Terhadap putusan tersebut tidak boleh dituntut kedua kalinya. 


Tujuan dan latar belakang dibentuknya ketentuan ini adalah untuk memberikan kepastian dan keadilan hukum, dimana terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh secara terus menerus dilakukan penuntutan terhadapnya. 


Sementara adanya perselisihan prayudisial adalah masalah menghentikan sementara penuntutan oleh hakim dalam siding pengadilan dengan alasan adanya perselisihan prayudisial dengan perkara lain yang bisa terjadi dalam hal ada hubungannya dengan perkara lain (pidana atau perdata) yang sudah terlebih dahulu diperiksa namun belum diputus. 


Sifat hubungan kedua perkara sekedar hanya mempengaruhi, tidak bersifat menutup hak penuntutan bagi perkara pidana. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1956, dalam hal perselisihan prayudisial dengan perkara perdata hakim tidak terikat pada putusan perkara perdata tersebut.


Perbedaan yang kompleks antara perkara prayudisial dengan nebis in idem menjadikan dua hal tersebut tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lainnya, keduanya memiliki kedudukan dan porsi yang berbeda dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sehingga ke depan perkara yang masuk dalam kategori sengketa prayudisial tidak dapat ditabrakkan dengan dalih adanya nebis in idem dalam pelaksanaan peradilan. 


Hubungan timbal balik antara perkara pidana dan perkara perdata menjadikan sengketa prayudisal sulit dihindarkan untuk kasus-kasus hukum yang terkait dengan keduanya, adakalanya objek perkara yang menjadi dasar pengaduan dalam peradilan pidana merupakan objek sengketa dalam perkara perdata yang menuntut untuk diselesaikan terlebih dahulu, sehingga guna mendapatkan keputusan yang dapat menjamin kepastian dan keadilan hukumnya, sangat penting untuk memperhatikan apakah objek perkara merupakan sesuatu yang bebas dari persengketaan atau sebaliknya. 


Dalam perjalanan hukum pidana maupun perdata di Indonesia, terdapat sejumlah fenomena hukum yang memerlukan penyelesaian sengketa prayudisal.


Berikut beberapa putusan yang dikeluarkan berkaitan dengan penyelesaian sengketa prayudisial :


a. Putusan Mahkamah Agung No 413K/Kr/1980, tanggal 26 Agustus 1980, pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No 413K/Kr/1980 tanggal 26 Agustus 1980, apabila yang dimaksud oleh penuntut kasasi atau terdakwa adalah “question prejudicial au judgement” seperti dinyatakan dalam Pasal 81 KUHP maka hal tersebut sekedar memberi kewenangan dalam perkara pidana ini, kewenangan tersebut tidak dipergunakan oleh hakim dan bukan memberikan kewajiban hukum kepada hakim untuk menunggu putusan dari hakim perdata mengenai persengketaannya, menangguhkan penuntutan yang sedang diperiksa sambil menunggu putusan perdata; bahwa selanjutnya hakim berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1956, tidak terikat oleh suatu putusan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata dan dengan demikian hakim pidana diberikan kebebasan untuk mengikuti atau tidak putusan dalam perkara perdata yang memiliki sangkut paut dengan perkara pidana.


b. Putusan Mahkamah Agung No.129K/Kr/1979 tanggal 16 April 1980 abstraksi dalam putusan tersebut menyatakan : karena pemeriksaan di pengadilan negeri telah berlanjut dan terbentur pada prejudicial geschill tentang hak milik atas tanah, maka tidak dapat diberi putusan berupa tidak dapat diterima tuntutan, ataupun putusan berupa lepas dari segala tuntutan hukum. Dan yang seharusnya ditempuh adalah : 1) menunda sidang sampai hakim perdata menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut dengan memberi waktu tertentu kepada terdakwa untuk mengajukan gugatan terdakwa atau; 2) perkara langsung diputus oleh hakim pidana berdasarkan bukti-bukti dalam pemeriksaan pidana.


c. Putusan Mahkamah Agung No.628K/Pid/1984 tanggal 22 Juli 1985, Mahkamah Agung dalam putusannya menyebutkan : Pengadilan tinggi sebelum memutus pokok perkara ini harusnya menunggu dulu putusan pengadilan yang akan memutuskan status pemilikan tanah dan rumah tersebut memiliki kekuatan hukum pasti. Dalam amar putusan tersebut disebutkan : memerintahkan pengadilan tinggi Bandung membuka kembali persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara ini sesudah putusan pengadilan dalam perkara perdata yang akan menentukan status kepemilikan tanah HGB No.197/Penaragan terletak di Jalan Merdeka No.11A Bogor mempunyai kekuatan pasti. 


d. Fenomena hukum yang terjadi pada tanggal 8 Juni 2017 antara PT Gudang Garam dengan mitra bisnisnya yaitu Dadang Heri Susanto yang diawali dengan perjanjian sewa tanah seluas 14 hektar milik perusahaan rokok tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut Dadang Heri Susanto dijerat pasal 385 KUHP tentang sewa menyewa oleh kepolisian, dalam perkara ini maka yang diselesaikan terlebih dahulu adalah perjanjian sewa tanahnya setelah terbukti barulah hakim melanjutkan perkara pidananya.


e. Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk Nomor 09/Pid.B/2012/PN.Ngjk bahwa terdakwa Kasmin menyuruh orang untuk mengambil buah mangga gadung di pekarangan milik saudari Yati tetapi kemudian perkara ini tidak hanya mengenai perkara pidana yang dakwaannya diancam Pasal 362 KUHP tentang pencurian, namun juga sebelumnya sudah terlebih dahulu masuk dalam sengketa perdata antara terdakwa dengan saudari Yati mengenai perebutan hak milik atas pekarangan tersebut dan belum diputus sampai proses persidangan perkara pidana berjalan. Berdasarkan hal tersebut dalam putusannya hakim menyatakan bahwa dakwaan yang diajukan oleh Jaksa dinyatakan premature dikarenakan sengketa mengenai hak milik tanah pekarangan tersebut masih berjalan. 


Meskipun telah banyak yurisprudensi tentang penyelesaian sengketa prayudisial, namun rupanya ketentuan dalam PERMA No 1 tahun 1956 tentang hubungan antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana masih sering disalahartikan. Alih-alih menterjemahkan dengan benar peraturan tersebut, ketentuan yang termaktub dalam PERMA justru dijadikan dasar penyidik untuk menangguhkan suatu proses penyidikan perkara pidana berkaitan dengan objek tanah. 


PERMA merupakan peraturan pelaksana undang-undang yang bersifat internal, artinya ketentuan dalam PERMA hanya ditujukan kepada pengadilan bukan kepada penyidik. Oleh karena itu, dalam hal sedang terdapat proses perkara perdata dalam suatu kasus, maka hal tersebut tidak mengurangi kewenangan penyidik Polri untuk menerima laporan pidana dan menindak lanjutinya, sehingga perlu di garis bawahi bahwa PERMA dan SEMA hanya mengatur internal Pengadilan dan Hakim. Sedangkan pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Polri sebagai penyidik diatur dalam Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.


Pada dasarnya penyidik merupakan gerbang terdepan pada proses penegakan hukum pidana di Indonesia. 


Sebelum melanjutkan atau menentukan dugaan perkara tindak pidana yang didalamnya terdapat anasir atau unsur perdata, sudah sewajarnya terlebih dahulu mengkaji secara mendalam tentang semua hal terkait fakta-fakta hukum yang dilaporkan tersebut sehingga memberikan keadilan bagi semua pihak.


Setiap masyarakat pencari keadilan memiliki hak untuk secepatnya mendapatkan keadilan melalui sistem peradilan, segala hal yang terkait dengan objek perkara harus diselesaikan terlebih dahulu untuk dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum. Di samping itu, hakim yang berkedudukan sebagi penanggungjawab dalam proses persidangan memiliki hak untuk senantiasa bertindak secara independen dan imparsial. Sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara tidak boleh tercederai dengan adanya paksaan untuk terikat terhadap putusan hakim yang terkait dengan perkara yang diadili. 


Esensinya Hubungan timbal balik antara perkara perdata dan perkara pidana acap kali menimbulkan gesekan antara keduanya. 


Gesekan tersebut mengakibatkan tercampurnya perkara pidana dan perkara perdata dalam satu objek perkara, sehingga dibutuhkan penyelesaian yang tepat untuk dapat menghindari ambiguitas dalam penegakan hukumnya. Maka dari itu, menjadi penting bagi para penyidik untuk memastikan apakah perkara tindak pidana yang sedang diperiksa memiliki objek perkara yang mengandung anasir-anasir persengketaan dalam ranah perdata.

 

Ketika ditemukan persengketaan dalam objek perkara, maka persengketaan tersebut harus diselesaikan tanpa penangguhan pemeriksaan oleh penyidik, karena perintah penangguhan ditujukan kepada hakim dalam memeriksa perkara bukan kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan permulaan. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan penyelesaian perselisihan prayudisial sangat penting untuk dapat memahami secara komprehensif ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang akan berakibat pada lambatnya proses pemenuhan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.


(Red)

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top