Jakarta, WartaHukum.com - Instruksi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kepada para penegak hukum untuk memberantas mafia tanah dilantangkan dalam 'Penyerahan Sertifikat Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria' di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (22/9/2021). Jokowi meminta para penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku mafia tanah yang merugikan masyarakat saat ini.
Kasus tersebut rupanya juga dialami oleh TNI Angkatan Laut (AL) atas lahan yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kementerian Keuangan dan PT Indorealty Tata Persada. Baik TNI AL, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, maupun PT Indorealty Tata Persada, ketiganya dikalahkan dalam putusan-putusan pengadilan. Bahkan, terhadap tanah TNI AL, seluas kurang lebih 30 hektar, pernah dilakukan beberapa kali eksekusi pada sekitar tahun 2008, 2011, dan 2015.
Almarhum Soemardjo, yang merupakan purnawirawan anggota TNI Angkatan Darat dan ahli waris-nya, memenangkan perkara hak kepemilikan hak atas tanah melawan TNI AL yang diputus melalui Putusan No. 541 PK/PDT/2002 dan Putusan No. 213K/Pdt/2001. Lahan yang diklaim dari tanah Angkatan Laut terdiri dari bidang tanah eks EV No. 6525, 11201, 11202, 11203, dan 11204. Alm. Soemardjo menyatakan telah membebaskan bidang tanah demikian dari para penggarap, yaitu Miun, Bagol, Adjing, dan Mardjuni dan membeli tanah eks EV No. 6525 dan EV No. 11202 melalui Surat Djual Beli tanggal 18 September 1960 dari Njoo Seng Hoo dan Kho Merie Nio yang dilakukan dihadapan Wedana Sunter. Dengan dilaksanakannya jual beli dari Njoo Seng Hoo, Drs. Soemardjo mengklaim mendapatkan Grosse Akta Eigendom Verponding No. 849 dan 850, masing-masing sebagai bukti kepemilikan dari tanah eks EV No. 6525 dan EV No. 11202.
Perlawanan dilakukan baik oleh TNI AL maupun Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan mengajukan bukti dan mempertanyakan keaslian dari surat-surat yang digunakan oleh Alm. Soemardjo, khususnya pada dokumen berupa Surat Djual Beli tanggal 18 September 1960, Grosse Akta Eigendom Verponding No. 849 dan 850. Kejanggalan-kejanggalan tersebut muncul dari adanya kecurigaan bagaimana mungkin Alm. Soemardjo dapat menguasai Grosse Akta Eigendom Verponding No. 849 dan 850 secara fisik, padahal akta-akta tersebut penguasannya berada pada pihak TNI AL. Tidak hanya itu, pihak TNI AL sendiri bahkan melaporkan Alm. Soemardjo ke Polda Metro Jaya pada tahun 2004, atas permasalahan dokumen tidak otentik yang digunakan untuk mengklaim hak atas tanah tersebut.
Secara teori hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Iing R. Sodikin Arifin, S.H., C.N., M.H., M.Kn., sebagai saksi ahli bidang pertanahan di hadapan pengadilan, seorang lurah / wedana tidak berwenang untuk mengalihkan tanah hak eigendom verponding. Sebelum berlakunya Undang-Undang Agraria, pengalihan tanah hak tersebut hanya sah apabila telah mendapat izin dari Menteri Agraria.
Persoalan sengketa tanah ini juga selanjutnya menyeret PT Indorealty Tata Persada, terkait bidang tanah seluas 8,5 hektar di kawasan Kelapa Gading yang telah diterbitkan sertifikat HGB Nomor 5283 / Kelapa Gading Barat atas nama PT Indorealty Tata Persada pada tahun 2007. Bidang tanah ini merupakan tanah eks EV No. 8507 (sebagian), yang tadinya merupakan bidang tanah milik TNI AL, yang ditukar guling dengan tanah bidang eks EV No. 6525 dan EV No. 11202 yang selanjutnya dimiliki dan dikuasai TNI AL.
Atas dasar penggunaan dokumen yang sama, yang ditengarai oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan TNI AL, sebagai tidak otentik, Saudara M. Fuad, yang mengklaim memperoleh hak atas tanah bidang eks EV No. 6525, EV No. 11202 dan EV No. 8507, dari Alm. Soemardjo, mengajukan klaim terhadap PT Indorealty Tata Persada.
Menurut kuasa hukum PT Indorealty Tata Persada, DR.Amir Syamsuddin, S.H.,MH. yang juga merupakan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, persoalan ini membuka kesempatan yang luas bagi eksekutif maupun legislatif sebagai solusi untuk penyelesaian carut marut persoalan tanah yang telah sekian lama terjadi, yang sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan berusaha di Indonesia. Semua unsur masyarakat dan pemerintahan tentunya diharapkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kepastian hukum terkait permasalahan mafia pertanahan ini, sekaligus melindungi hak dan kepentingan masyarakat dari pelbagai lapisan.
Dalam kasus yang dihadapi PT Indorealty Tata Persada ini misalnya, ada permasalahan hukum yang sangat besar karena terdapat berbagai keputusan pengadilan yang memprihatinkan. Adalah hal yang mengagetkan bahwa ternyata putusan pengadilan didasarkan pada adanya Penetapan oleh hakim pengadilan negeri mengenai kepemilikan atas tanah. Ini sesuatu yang sangat fatal dan tidak lazim. Demikian pula, terdapat putusan pengadilan pada tingkat Peninjauan Kembali yang Ke-2, yang lazim disebut PK 2, yang juga tidak lazim, karena PK 2 ini diajukan dengan mempertentangkan keputusan Peninjauan Kembali (yang mengakui hak sah dari PT Indorealty Tata Persada) dengan suatu putusan Kasasi.
Ini bertentangan sepenuhnya dengan hukum acara dan peraturan Mahkamah Agung sendiri, yang memperbolehkan PK 2 hanya apabila terdapat dua putusan PK yang bertentangan. Terlebih-lebih lagi, ternyata putusan Kasasi yang digunakan adalah perkara kasasi mengenai bidang tanah yang berbeda dan dengan pihak yang berbeda, di mana PT Indorealty Tata Persada bahkan bukanlah pihak. Kejanggalan lainnya adalah bahwa Putusan PK 2 inipun mendasarkan dirinya pada Penetapan pengadilan mengenai suatu hak milik atas tanah, suatu produk hukum yang sangat tabu dari sisi hukum acara di Indonesia.
DR. Amir Syamsuddin S.H.,MH., juga menyatakan keprihatinannya, karena apabila negara-pun dikalahkan atas dokumen yang patut diduga tidak otentik, apalagi pihak swasta. Dalam konteks ini, tentunya perusahaan dan pemegang sahamnya, yang memerlukan kepastian hukum dan perlindungan berusaha, adalah layak untuk dibantu, khususnya apabila benar bahwa permasalahan yang dihadapi berpotensi melemahkan upaya negara dalam memajukan perekonomian nasional melalui kemudahan dan kepastian berusaha di Indonesia.
Dari persidangan pidana yang saat ini tengah berlangsung, diketahui bahwa TNI AL sendiri pernah melakukan pelaporan Alm. Soemardjo kepada Polda Metro Jaya, dan pernah ada hasil laboratorium forensik yang menyatakan bahwa dokumen yang diajukan dan digunakan oleh Alm. Soemardjo adalah tidak otentik. Tapi temuan ini tidak cukup ampuh untuk melindungi hak negara, dalam hal ini TNI AL, atas tanah yang dikuasainya. Baik TNI AL maupun Kementerian Keuangan Republik Indonesia dikalahkan oleh pengadilan pada tingkat Mahkamah Agung.
Atas dasar penggunaan dokumen yang sama inilah, PT Indorealty Tata Persada melaporkan M. Fuad, di Polda Metro Jaya pada akhir tahun 2018. Muhammad Fuad pun disangkakan melanggar Pasal 266 ayat (2) KUHP (primair) dan Pasal 263 ayat (2) KUHP (subsidair) atau menggunakan akta atau surat palsu berupa Gross Akte Eigendom Verponding No. 849 dan No. 850 tertanggal 15 April 1953. Persidangan perkara ini saat ini sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Patut diduga bahwa surat yang digunakan Muhamad Fuad adalah non-identik atau palsu berdasarkan hasil Labkrim dari Puslabfor Bareskrim Mabes Polri," jelas DR.Amir Syamsudin, S.H.,MH. Jelasnya pula, perusahaan sendiri pernah memberitahukan bahwa yang asli adalah Grosse Akte Eigendom Verponding Nomor 849 dan Nomor 850 yang berada pada TNI AL. Surat asli itulah yang digunakan TNI AL sebagai dasar kepemilikan dan bagian dari dokumen yang digunakan untuk penerbitan SHGB yang dimiliki PT Indorealty Tata Persada.
Ditempat terpisah seorang ahli pidana dari Universitas Bhayangkara Raya, Asst.Prof Dr. Dwi Seno Wijanarko,S.H.,CPCLE.CPA mengomentari atas Kasus tersebut. Menurutnya sindikat mafia tanah harus di berantas.
“ persoalan tanah menjadi suatu yang riskan dan rentan oleh penggunaan Data-data palsu, saya menghimbau terhadap penegak hukum khususnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar menghukum terdakwa kasus pemalsuan dengan seberat beratnya. Hal ini merupakan perwujudan dari Perintah Presiden Jowoki agar memberantas sindikat mafia tanah” Jelas Dr. Seno
Masih dengan Pendapat Dr. Seno dirinya berpendapat agar pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum “ Berdasarkan Yurisprudensj putusan MA No. 1267 K/Pdt/2012 menegaskan salah satu prinsip dalam perjanjian jual beli: ‘pembeli yang beriktikad baik harus selalu dilindungi’. Konsekuensinya, perjanjian jual beli yang dilakukan pembeli yang beriktikad baik dengan seorang penjual harus dianggap sah. Jika ada yang dirugikan akibat transaksi itu, maka hak-hak pembeli yang beriktikad baik harus dilindungi hukum.
Dalam transaksi jual beli, itikad baik sangat penting karena apabila pembeli telah memiliki itikad baik dalam melakukan pembelian, ia akan dilindungi oleh hukum.
Dengan adanya perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik maka konsekuensinya adalah transaksi jual belinya adalah sah. Mahkamah Agung baik dalam putusan-putusannya dan juga dalam Surat Edarannya telah menegaskan hal ini, seperti dalam Putusan MARI No. 251 K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958 yang kaedah hukumnya berbunyi : “Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi dan jual beli yang bersangkutan haruslah dianggap syah.”
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh MA dalam Surat Edaran MA No. 7/2012, yang dalam butir ke IX dirumuskan: “Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli Beritikad Baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak….”. Artinya disini Pemerintah harus memberikan perlindungan Hukum terhadap Tanah yang bersertifikat SHGB yang dimiliki PT Indorealty Tata Persada yang diperolah dari TNI AL Demi keadilan dan kepastian Hukum.
Bahwa jaksa Agung ST Burhanudin selako pemegang komando kejaksaan Agung RI harus berani ,memiliki integritas dan kredibel selaku garda terdepan dalam pemberantasan mafia pertanahan.
( red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar