Jakarta, WartaHukum.com - Prof. Yusril Ihza Mahendra kembali ke Kampus Fakultas Hukum UI di Depok untuk mengajar S1 dan S2. Di S1 saya mengajar hal-hal terkait dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan di S2 saya mengajar Hukum Tata Dalam Keadaan Negara Darurat, Selasa (25/10/2022).
Selama pandemi UI menyelenggarakan kuliah secara virtual. Baru semester sekarang perkuliahan tatap muka dibuka kembali ketika pandemi sudah mulai reda. Namun demikian, protokol kesehatan tetap dijalankan, karena pandemi belum benar-benar berakhir.
Kuliah S1 hari ini diadakan di auditorium FH UI dihadiri sekitar 200 mahasiswa dengan tetap menggunakan masker dan jaga jarak. Kuliah berjalan tertib dalam suasana hening karena mahasiswa menyimak perkuliahan dengan baik di auditorium yang cukup besar.
Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi difokuskan pada Hukum Acara Pengujian UU terhadap UUD 45, baik secara normatif maupun praktek pelaksanaannya. Saya dapat menjelaskan latar belakang keberadaan MK dan proses pembentukan UU nya pada tahun 2003.
Tahun 2003 itu saya menjabat Menteri Kehakiman dan HAM. Sayalah yang mewakili Pemerintah dalam membahas RUU MK sampai selesai dan memproses pengangkatan 9 hakim MK yang dilantik bulan Agustus 2003.
Belakangan saya sering hadir dalam sidang MK, baik mewakili Presiden, sebagai advokat, ahli, bahkan sebagai pemohon pengujian UU. Ketika mengajar saya tidak sekedar berteori, tetapi juga menceritakan berbagai pengalaman pribadi, yang mungkin sekali tidak akan ditemukan di buku-buku.
Saya juga dapat mengemukakan telaah kritis saya terhadap mekanisme kerja MK dan analisis terhadap berbagai putusan yang saya anggap kontroversial. Saya memberi kuliah seperti itu untuk mendorong daya kritis mahasiswa terhadap kinerja sebuah lembaga negara.
Saya juga menganilisis putusan MK dalam menguji UU dan kemudian menafsirkannya sebagai "conditionally condtitutional" sehingga mengubah sebuah norma UU. MK bahkan sering menciptakan norma baru dalam putusannya, yang menurut hemat saya bisa menimbulkan sengketa kewenangan.
Kewenangan membentuk norma UU adalah kewenangan Presiden dan DPR. MK hanya berwenang melakukan "negative legislation" yakni menyatakan suatu norma UU bertentangan dengan UUD 45 dan karena itu tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Bagaimana pembentukan norma selanjutnya setelah menyatakan tidak punya kekuatan hukum mengikat haruslah dikembalikan kepada Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
Di S2 hari ini saya memberi kuliah sejarah hukum tatanegara dlm keadaan darurat, mulai dari Pembentukan Pemerintah Darurat RI tahun 1948, situasi menjelang dan pada saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta potensi kemungkinan adanya darurat ketatanegaraan pasca amandemen UUD 45
UUD 45 baik sebelum maupun sesudah amandemen tidak memuat pengaturan untuk mengantisipasi situasi ketatanegaraan dalam keadaan darurat. Di masa lalu, kevakuman itu diisi dengan TAP MPR. Sekarang MPR tidak bisa membuat TAP yang baru yang bercorak pengaturan.
Kemungkinan ketatanegaraan darurat itu bisa terjadi jika KPU gagal menyelenggarakan Pemilu tahun 2024, baik kegagalan yang disebabkan oleh kegagalan negara melaksanakannya, maupun akibat terjadinya sebuah bencana sosial dan bencana alam yang sulit untuk dihindari.
Sebab mulai 1 Oktober 2024 DPR, DPD dan MPR sudah habis masa jabatannya, sementara anggota yang baru tidak bisa dilantik karena Pemilu gagal dilaksanakan. Presiden dan Wapres serta para menteri juga akan habis masa jabatannya 20 Oktober 2024.
Sementara Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri yang baru tidak bisa dilantik karena Pemilu gagal dilaksanakan. Dalam situasi seperti itu terjadilah krisis konstitutional, ketatanegaraan berada dlm keadaan darurat, sementara tidak ada jalan konstitusional untuk mengatasinya
Ini masalah serius yang harus dipecahkan dari sekarang. Jangan dibiarkan terjadi chaos dan saling rebut kekuasaan. Keadaan seperti ini berbahaya bagi eksistensi negara, karena tidak seorangpun pejabat yang bisa mengklaim dia berwenang mengambil alih kekuasaan.
(Red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar