Jakarta, WartaHukum.com - Peran penting Pembuktian dalam hukum pidana selalu menjadi perbincangan exotis bagi para akademisi maupun praktisi hukum dalam beracara baik di kepolisian maupun di persidangan, pentingnya cakrawala yang luas agar menelaah hukum secara obyektif dan komprehensif, oleh karena tersebut Seorang Ahli Hukum Pidana yang merupakan dosen fakultas hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Asst.Prof.Dr.Dwi Seno Wijanarko,SH.,MH.,CPCLE.,CPA memberikan edukasi tentang Parameter Pembuktian hukum pidana dengan pandangan hukum sebagai berikut :
Dipandang dari perspektif hukum Pidana tentang ‘’Pembuktian’’ maka ada 6 parameter/ tolok ukur yang digunakan dalam menentukan dan menguji kualifikasi kekuatan alat bukti :
1) Bewijstheorie : hukum acara pidana Indonesia menganut teori Negatif Wettelijke Bewijstheorie artinya sistem pembuktian berdasarkan undang-undang minimal 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim.
2) Bewijsmiddelen : alat bukti yang digunakan 184 KUHAP
Berdasarkan pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditegaskan bahwa alat bukti yang sah antara lain:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
3) Bewijsvoering : penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Dalam due process model, Negara begitu menjunjung tinggi HAM (hak-hak tersangka) sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence. Semata-mata menitik beratkan pada hal-hal yang bersifat formalistik, sering mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada. Herbert L Packer : suatu bukti illegally acquired evidence (perolehan bukti secara tidak sah) tidak patut dijadikan sebagai bukti di pengadilan.
4) Bewijslast : pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh UU untuk membuktikan suatu peristiwa hukum.
Actori in cumbit probatio/Actori incumbit onus probandi/Actore non probante, reus absolvitur (siapa yang menggugat/mendalilkan dia pula yang harus membuktikan, apabila tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan). Hal ini ditegaskan Pasal 66 KUHAP tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Berdasarkan asas actori in cumbit probation, maka PU diembani untuk membuktikan penyebab dari akibat. Untuk membantu meyakinkan maka dibutuhkan ahli. Namun apabila tidak dapat dibuktikan, maka Actore non probante, reus absolvitur (apabila tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan) ini asas/prinsip dasar dalam hukum pidana.
5) Bewijskracht : kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim. Sesuai, relevan dan dapat diterima.
6) Bewijsminimum : bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim. Paling tidak harus ada 2 alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Pasal 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya.
Karena pembuktian dalam perkara pidana adalah hal yang sangat penting Berdasarkan Adagium Humum In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores (Dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari pada cahaya). Apabila dikorelasikan dengan kasus a quo setelah dilakukan pemeriksaan secara mendalam/ review oleh para ahli dan menghasilkan rekomendasi terhadap Gedung Galeri Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung eksisting yang tidak memenuhi standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan sehingga diperlukan Retrofitting (analisa ulang struktur perbaikan/ perkuatan) atau Demolish (membongkar bangunan eksisting/ penghapusan asset), maka berdasarkan Bewijsmiddelen kedudukan Review tersebut dalam kedudukan sebagai alat bukti menurut pasal 184 KUHAP dapat saja sebagai Alat bukti keterangan ahli, surat (apabila tertulis), dan/ atau petunjuk.
(Red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar